RENAISSANCE: DI ANTARA SASTRA
KLASIK, SASTRA MODERN DAN SASTRA TERJEMAHAN
Renaissance
adalah masa pengakuan manusia sebagai ‘logos’ (Anthropocentrism) yang hadir sebagai ‘altenatif’ atas glorifikasi
terhadap Tuhan, Ketuhanan dan Spiritualitas (Theocentrism) yang dianggap sebagai keniscayaan pada masa pra Renaissance.
Renaissance
dan Sastra Klasik
Sastra Renaissance
tidak bisa dilepaskan dari ‘pendahulunya’ yaitu sastra klasik. Ciri khas sastra
klasik adalah makna sesungguhnya yang ada dalam teks-teks sastra berasal dari
Tuhan. Tidak ada hal-hal yang patut dipertentangkan karena sudah seperti itu
adanya (taken for granted). Pengagungan
Tuhan adalah hal yang mutlak sedangkan persoalan tubuh dan dunia material
adalah hal-hal yang dinafikkan. Metamorphose
yang ditulis oleh Ovid adalah salah satu contoh karya klasik yang membuktikan
bahwa essensi lebih penting dari pada eksistensi. Metamorphose berisikan logos-logos
tentang asal mula bumi, kisah Dewa Yunani, hingga Perang Troy di Yunani.
Renaissance
dan Sastra Modern
Zaman Renaissance diakui sebagai lahirnya sastra humanis
yang kemudian menjadi tonggak lahirnya karya-karya pra modern dan modern,
termasuk diantaranya karya sastra. Karya-karya sastra yang muncul pada masa pra
modern dan modern berkembang di wilayah Eropa Barat (daya) diantaranya Italia,
Perancis, dan Spanyol. Salah satu sastrawan early
modern yang dikenal khalayak adalah William Shakespeare, penulis drama dan
Sonnet. Salah satu karyanya yang humanis adalah Hamlet, drama tragedi yang mengisahkan pembalasan dendam Hamlet
atas kematiannya ayahnya yang juga seorang Raja. Ada persoalan dignity yang muncul dalam karya ini,
yaitu Hamlet berkewajiban membalas kematian ayahnya.
Pada era modern, bermunculan sastrawan-sastrawan humanis lainnya,
salah satunya adalah Guy de Maupassant. Sastrawan Perancis ini diakui mempunyai
peran dalam lahirnya sastra modern. Karyanya yang berjudul La Parure (The Necklace)
merupakan salah satu contoh karya sastra
modern yang dipublikasikan pada pertengahan abad ke sembilan belas tepatnya
pada tahun 1884. La Parure (The Necklace) menghadirkan konsep tubuh dan
kebendaan secara realistik. The Necklace
adalah sebuah karya tentang sosok perempuan, bernama Mathilde yang merasa tidak
bahagia dan terobsesi dengan hal-hal yang tidak ia miliki seperti menjadi
bagian dari kelas menengah atas dan memiliki perhiasan (kalung). Kedirian
Mathilde ditampilkan secara tidak puitis dan tidak didramatisir, melainkan
melalui penggambaran yang tegas tentang persoalan dalam realita kehidupan
manusia yaitu ingin dihargai keinginan-keinginannya. Disinilah letak
nilai-nilai humanis cerpen The Necklace. Dalam kesusastraan Jerman, ada sastrawan
bernama Franz Kafka yang melahirkan karya-karya modernis seperti Ein Hungerkunstler (Hunger Artist) dan Die
Verwandlung (The Metamorphosis). Dalam
karyanya Die Verwandlung (The Metamorphosis), Kafka menghadirkan
tokoh Gregor Samsa sebagai tokoh yang berbicara tentang permasalahannya sebagai
pencari nafkah bagi Ayah, Ibu dan saudara perempuannya ketika ia
bertransformasi menjadi sejenis
serangga. Keluh kesah Gregor sebagai seorang pekerja memperkuat nilai-nilai
humanisme karya sastra ini.
Renaissance
dan Sastra Terjemahan
Era Renaissance dianggap
sebagai masa produktif penerjemahan sebagaimana dikatakan oleh Susan Basnett
dalam bukunya Comparative Literature: A
Critical Introduction (1999) yaitu pada salah satu bab yang berjudul From Comparative Literature to Translation
Studies. Basnett mengungkapkan bahwa
pada masa Renaissance belum ada
parameter yang baku tentang sistem penilaian penerjemahan sebuah karya sastra.
Terlepas dari ‘kekurangan’ tersebut, setidaknya era Renaissance ini dapat
diindikasikan sebagai stepping stone penerjemahan
karya sastra.
Pengaruh dari penerjemahan karya sastra sangat berbekas
hingga sekarang. Berbagai kisah yang mendunia seperti Iliad dan Odyssey, Mahabarata, Ramayana, dan Perjalanan ke
Barat hadir dalam bentuk terjemahan di ruang publik (berjejer di toko buku,
perpustakaan di sekolah/kampus, didiskusikan dalam forum), maupun di ranah
domestik ( sebagai koleksi bacaan dan sastra lisan dari generasi ke generasi).
Yang patut juga dicatat adalah kemunculan sastra terjemahan
memberikan’ ruang’ bagi para penikmat dan pemerhati sastra untuk menginterpretasi
dan mengkajinya. Tanggapan, kritikan dan perdebatan tentang keberadaan karya
sastra terjemahan dan cerita-ceritanya menegaskan kontribusi karya sastra
terjemahan dalam dinamika dunia sastra. Tokoh Achilles dalam kisah Iliad atau Odyssey karya Homer dapat diinterpretasikan di satu sisi sebagai
pahlawan/ hero yang sangat berani
namun di sisi lain ia dianggap sebagai sosok yang kejam. Kisah Dewi Sinta yang
bunuh diri dalam cerita Ramayana memunculkan multi interpretasi. Dengan menceburkan dirinya
ke dalam kobaran api, Dewi Sinta dianggap menjunjung tinggi harga dirinya
karena ia dituduh tidak perawan lagi oleh sang suami, Rama. Namun pendapat
berbeda menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Dewi Sinta merupakan akibat
dari ‘keberingasan’ patriarki. Keberagaman analisis ini memperkaya pemikiran
kritis akan sebuah karya sastra.
thank you for your information it is very useful for me as the student of english literature
BalasHapus