Rabu, 07 November 2012

RENAISSANCE: DI ANTARA SASTRA KLASIK, SASTRA MODERN DAN SASTRA TERJEMAHAN




RENAISSANCE: DI ANTARA SASTRA KLASIK, SASTRA MODERN DAN SASTRA TERJEMAHAN


 Renaissance adalah masa pengakuan manusia sebagai ‘logos’ (Anthropocentrism) yang hadir sebagai ‘altenatif’ atas glorifikasi terhadap Tuhan, Ketuhanan dan Spiritualitas (Theocentrism) yang dianggap sebagai keniscayaan pada masa pra Renaissance.
Renaissance dan Sastra Klasik
Sastra Renaissance tidak bisa dilepaskan dari ‘pendahulunya’ yaitu sastra klasik. Ciri khas sastra klasik adalah makna sesungguhnya yang ada dalam teks-teks sastra berasal dari Tuhan. Tidak ada hal-hal yang patut dipertentangkan karena sudah seperti itu adanya (taken for granted). Pengagungan Tuhan adalah hal yang mutlak sedangkan persoalan tubuh dan dunia material adalah hal-hal yang dinafikkan. Metamorphose yang ditulis oleh Ovid adalah salah satu contoh karya klasik yang membuktikan bahwa essensi lebih penting dari pada eksistensi. Metamorphose berisikan logos-logos tentang asal mula bumi, kisah Dewa Yunani, hingga Perang Troy di Yunani.
Renaissance dan Sastra Modern
Zaman Renaissance  diakui sebagai lahirnya sastra humanis yang kemudian menjadi tonggak lahirnya karya-karya pra modern dan modern, termasuk diantaranya karya sastra. Karya-karya sastra yang muncul pada masa pra modern dan modern berkembang di wilayah Eropa Barat (daya) diantaranya Italia, Perancis, dan Spanyol. Salah satu sastrawan early modern yang dikenal khalayak adalah William Shakespeare, penulis drama dan Sonnet. Salah satu karyanya yang humanis adalah Hamlet, drama tragedi yang mengisahkan pembalasan dendam Hamlet atas kematiannya ayahnya yang juga seorang Raja. Ada persoalan dignity yang muncul dalam karya ini, yaitu Hamlet berkewajiban membalas kematian ayahnya.
Pada era modern, bermunculan sastrawan-sastrawan humanis lainnya, salah satunya adalah Guy de Maupassant. Sastrawan Perancis ini diakui mempunyai peran dalam lahirnya sastra modern. Karyanya yang berjudul La Parure (The Necklace) merupakan salah satu contoh  karya sastra modern yang dipublikasikan pada pertengahan abad ke sembilan belas tepatnya pada tahun 1884. La Parure (The Necklace) menghadirkan konsep tubuh dan kebendaan secara realistik. The Necklace adalah sebuah karya tentang sosok perempuan, bernama Mathilde yang merasa tidak bahagia dan terobsesi dengan hal-hal yang tidak ia miliki seperti menjadi bagian dari kelas menengah atas dan memiliki perhiasan (kalung). Kedirian Mathilde ditampilkan secara tidak puitis dan tidak didramatisir, melainkan melalui penggambaran yang tegas tentang persoalan dalam realita kehidupan manusia yaitu ingin dihargai keinginan-keinginannya. Disinilah letak nilai-nilai humanis cerpen The Necklace.  Dalam kesusastraan Jerman, ada sastrawan bernama Franz Kafka yang melahirkan karya-karya modernis seperti Ein Hungerkunstler (Hunger Artist) dan Die Verwandlung (The Metamorphosis). Dalam karyanya Die Verwandlung (The Metamorphosis), Kafka menghadirkan tokoh Gregor Samsa sebagai tokoh yang berbicara tentang permasalahannya sebagai pencari nafkah bagi Ayah, Ibu dan saudara perempuannya ketika ia bertransformasi  menjadi sejenis serangga. Keluh kesah Gregor sebagai seorang pekerja memperkuat nilai-nilai humanisme karya sastra ini.
Renaissance dan Sastra Terjemahan
Era Renaissance dianggap sebagai masa produktif penerjemahan sebagaimana dikatakan oleh Susan Basnett dalam bukunya Comparative Literature: A Critical Introduction (1999) yaitu pada salah satu bab yang berjudul From Comparative Literature to Translation Studies.  Basnett mengungkapkan bahwa pada masa Renaissance belum ada parameter yang baku tentang sistem penilaian penerjemahan sebuah karya sastra. Terlepas dari ‘kekurangan’ tersebut, setidaknya era Renaissance  ini dapat diindikasikan sebagai stepping stone penerjemahan karya sastra.
Pengaruh dari penerjemahan karya sastra sangat berbekas hingga sekarang. Berbagai kisah yang mendunia seperti Iliad dan Odyssey, Mahabarata, Ramayana, dan Perjalanan ke Barat hadir dalam bentuk terjemahan di ruang publik (berjejer di toko buku, perpustakaan di sekolah/kampus, didiskusikan dalam forum), maupun di ranah domestik ( sebagai koleksi bacaan dan sastra lisan dari generasi ke generasi).
Yang patut juga dicatat adalah kemunculan sastra terjemahan memberikan’ ruang’ bagi para penikmat dan pemerhati sastra untuk menginterpretasi dan mengkajinya. Tanggapan, kritikan dan perdebatan tentang keberadaan karya sastra terjemahan dan cerita-ceritanya menegaskan kontribusi karya sastra terjemahan dalam dinamika dunia sastra. Tokoh Achilles dalam kisah Iliad atau Odyssey karya Homer dapat diinterpretasikan di satu sisi sebagai pahlawan/ hero yang sangat berani namun di sisi lain ia dianggap sebagai sosok yang kejam. Kisah Dewi Sinta yang bunuh diri dalam cerita Ramayana memunculkan  multi interpretasi. Dengan menceburkan dirinya ke dalam kobaran api, Dewi Sinta dianggap menjunjung tinggi harga dirinya karena ia dituduh tidak perawan lagi oleh sang suami, Rama. Namun pendapat berbeda menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Dewi Sinta merupakan akibat dari ‘keberingasan’ patriarki. Keberagaman analisis ini memperkaya pemikiran kritis akan sebuah karya sastra.

 

KISAH EPIC, RATU ADIL DAN THE GREAT MAN




KISAH EPIC, RATU ADIL DAN THE GREAT MAN





Kisah heroik atau yang lebih dikenal dengan epic adalah kisah tentang perjuangan seorang tokoh (hero) yang bersedia melakukan perjalanan dan berani menghadapi tantangan. Sang pahlawan atau hero yang hidup pada satu masa dan masyarakat tertentu. Kisah Hercules, Mahabarata, Ramayana dan Perjalanan ke Barat adalah contoh-contoh kisah berpola epic. Dalam cerita bangsa Yunani, Hercules dikenal sebagai anak Dewa Zeus yang harus menjalankan dua belas tugas dalam kehidupannya. Rama dalam kisah Ramayana melakukan pengembaraan ke hutan belantara. Perjuangan Pandawa melawan Kurawa saat perang Barata Yudha dalam kisah Maharabarata dan Kera Sakti dalam kisah Perjalanan ke Barat juga melakukan misi untuk mendapatkan kitab suci. Semua hero dalam kisah-kisah ini melewati berbagai hambatan dalam proses ‘perjalanannya’.
Jika ditelusuri dengan cermat, kisah perjuangan heroic Hercules, Rama, Kera Sakti dan Pandawa identik dengan kehidupan dua sosok terkemuka dalam agama Islam dan Kristen, yaitu Muhammad dan Yesus. Baik Muhammad maupun Yesus, keduanya menyebarkan ajaran-ajaran agamanya melalui perjuangan yang tidak mudah. Muhammad muncul pada jaman jahiliyiah dimana banyak kekacauan terjadi di masyarakat Mekkah khususnya. Tak jauh beda, Yesus juga muncul di kota Yerusalem sebagai Sang Juru Selamat yang mendapat perlawanan dari Raja Roma yang berkuasa saat itu.
Pengakuan atas ketangguhan Muhammad dan Yesus dalam menyampaikan ajaran agamanya ditorehkan oleh Michael H. Hart sebagai dua diantara seratus tokoh yang berpengaruh di dunia dalam bukunya yang berjudul 100 Most Influential People in History. Hart bukan tanpa alasan yang kuat menempatkan Muhammad dan Yesus sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di dunia. Keduanya dianggap berhasil mengajarkan ajaran agama mereka masing-masing setelah melalui halangan dan rintangan. Kisah epic ini yang mempengaruhi umat manusia untuk menjadi pengikut Muhammad dan Yesus.
Apabila dilihat dari konteks keindonesiaan, kisah berpola epik dapat dihubungkan dengan konsep ‘Ratu Adil’ yang ada dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Ratu Adil (Satrio Piningit) merupakan sosok (hero) yang diinginkan oleh masyarakat yang sedang dilanda konflik sosial. Keyakinan akan datangnya ‘Ratu Adil’ pada saat kekacauan menunjukkan keinginan masyarakat akan perubahan. Konsep ‘Ratu Adil’ ini sejalan dengan teori Great-Man yang dikemukakan oleh Thomas Carlyle pada tahun 1840 dan dikembangkan oleh Herbert Spencer pada tahun 1860. Menurut Spencer, kemunculan tokoh-tokoh besar yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri dipicu oleh kondisi sosial pada masa sebelum mereka.
Di Indonesia, ‘Ratu Adil’ atau ‘Great Man’ hadir pada saat bangsa Indonesia dijajah dan menginginkan perubahan yaitu kemerdekaan. Soekarno hadir sebagai pembawa perubahan yaitu the founding father. Soekarno menjalani kehidupan yang penuh rintangan di masa penjajahan seperti dipenjarakan dan dibuang ke pengasingan (Ende di Flores dan Bengkulu) hingga akhirnya berhasil memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konteks kekinian, kisah epic juga mempengaruhi dunia Barat, khususnya Amerika Serikat. Kemunculan Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat yang berketurunan Afrika-America, merepresentasikan harapan masyarakat minoritas di Amerika Serikat (kaum kulit hitam) untuk memiliki pemimpin dari kalangan mereka. Perjuangan Obama menuju White House identik dengan pengalaman hero dalam kisah epic. Hal ini disebabkan karena kemenangannya sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2008 yang lalu adalah sebuah ketidakmungkinan pada masa sebelumnya. Publik berkulit hitam di Amerika Serikat tidak akan lupa dengan diskriminasi ras terhadap komunitas mereka dulu. Barack Obama hadir sebagai ‘Ratu Adil’ yang membawa perubahan bagi masyarakat Amerika Serikat yang mengalami krisis kepercayaan terhadap Presiden Amerika Serika saat itu, yaitu George W. Bush. Hal ini sejalan dengan apa yang dicanangkan oleh Obama sendiri yaitu: Change We Can Believe In. Obama juga membuktikannya pada kemenangannya untuk kedua kalinya pada 6 November 2012.
Kisah berpola epic tentang perjalanan hero Hercules, Rama, Kera Sakti, Muhammad dan Yesus pada berabad-abad yang lalu adalah refleksi masyarakat pada saat itu. Kemunculan para hero tersebut terreinkarnasi dalam sosok-sosok seperti Soekarno dan Barack Obama. Keduanya diyakini sebagai hero, ‘Ratu Adil’ atau ‘The Great Man’ yang membawa perubahan bagi bangsanya.